Source: InsideHook Kayla Kibbe |
Misogini Gen Z (Laki-laki yang menganggap dirinya ganteng, dapat pujian. Sedangkan, perempuan yang menganggap dirinya cantik, dibanjiri hujatan)
Oleh: Miftahudin
Apa itu Misogini? http://sosiologis.com/misogini
Fenomena ini diangkat terinspirasi dari komentar para pengguna aplikasi TikTok disalah satu unggahan video Ziddannn yang men-stich unggahan video @ares_jo dengan titel “Sebutin alasan lu Terkenal satu sekolah”. Dalam video tersebut, Ziddannn terlihat percaya diri menjawab challenge dari @ares_jo dengan mengatakan “Ya… karena ganteng lah, terus apa lagi?” Video tersebut diberi titel “Harus PD”. Setelah masuk FYP (For Your Page), video tersebut kemudian mendapat banyak komentar dari para pengguna aplikasi TikTok lainnya.
Komentar yang dilemparkan pengguna TikTok dengan nama Hikari terlihat mendapat like terbanyak. Hikari berkomentar “cowo PD, di puji abis2 an. giliran cewe yang PD malah di HUJAT! maha benar para netizen”. Terhitung per 19 April 2021, komentar tersebut mendapat like sebanyak 13.3K. Dapat dikatakan bahwa sebanyak jumlah tersebut merasakan hal yang sama/mempunyai pendapat yang sama. Tidak hanya itu, survei juga dilakukan untuk mencoba mengetahui dan meyakinkan apakah hal tersebut juga benar dirasakan oleh individu yang lain, khususnya para generasi Z. Survei dilakukan menggunakan G-form dengan responden sebanyak 10 orang. Hasil survei sederhana tersebut membuktikan bahwa 70% orang mempunyai anggapan sama dengan berbagai alasan yang disampaikan.
Selanjutnya, ada sebuah artikel yang bertajuk “Pede Ngaku Cantik, Sunhwa Polwan ‘School 2017’ Panen Hujatan”, bersumber dari https://www.grid.id/amp/04154474/pede-ngakucantik-sunhwa-polwan-school-2017-panen-hujatan (diakses pada 19 April 2021). Artikel tersebut cukup mendukung diangkatnya fenomena ini (Misogini Gen Z) yang membuktikan bahwa fenomena tersebut bukan hanya sekadar anggapan semata, akan tetapi benar-benar realitas yang terjadi di masyarakat.
“Pembahasan Fenomena Berdasarkan Sudut Pandang Tradisi dan Paradigma dalam Teori Komunikasi” Misogini Gen Z (Laki-laki yang menganggap dirinya ganteng, dapat pujian. Sedangkan, perempuan yang menganggap dirinya cantik, dibanjiri hujatan)
Berdasarkan Sudut Pandang Tradisi dan Paradigma Positivis
Sosiopsikologis
Tradisi dan paradigma positivis membahas suatu fenomena dengan melihat fenomena yang akan dibahas berdasarkan sebab dan akibat. Dalam hal ini, berkaitan dengan fenomena yang diangkat, yaitu Misogini yang terjadi pada generasi Z tepatnya mengenai anggapan “laki-laki yang menganggap dirinya ganteng, dapat pujian. Sedangkan, perempuan yang menganggap dirinya cantik, dibanjiri hujatan”, sebabnya adalah ungkapan/pernyataan/anggapan yang diucapkan oleh seseorang yang kemudian dipersepsi/diterjemahkan oleh orang lain. Sehingga, mengakibatkan adanya respon, dalam kasus ini yaitu berupa pujian dan hujatan. Cabang tradisi yang dapat membahas fenomena ini adalah cabang sosiopsikologis. Sebagaimana definisinya, tradisi sosiopsikologis dapat dikatakan sebagai suatu kajian yang membahas mengenai perilaku sosial individu, seperti efek individu, kepribadian, sifat, persepsi, dan kognisi. Dalam hal ini, tradisi sosiopsikologis berusaha untuk membongkar proses komunikasi yang terjadi antar komunikator dan komunikan, yaitu orang yang membuat pernyataan dan yang memberikan respon atas pernyataan tersebut. Mengapa anggapan tersebut mendapat respon positif, jika yang beranggapan adalah seorang laki-laki? Sebaliknya, mengapa anggapan tersebut mendapat respon negatif, jika yang beranggapan adalah seorang perempuan? Dalam tradisi sosiopsikologis, komunikasi diteorikan sebagai ekspresi, interaksi, dan pengaruh. Dimana, dalam kasus ini komunikasi diekspresikan melalui sebuah pernyataan yang mendeskripsikan bahwa dirinya cantik/ganteng. Kemudian, ekspresi tersebut menjadi stimulus yang menghadirkan respon positif maupun respon negatif dari orang lain. Dalam membahas fenomena ini, tradisi dan paradigma positivis mempredikasi/memperkirakan, apakah anggapan atau pernyataan yang diucapkan oleh seseorang itu dipersepsikan negatif, jika yang yang beranggapan adalah seorang perempuan, karena dinilai sombong, pamer fisik, ataupun terlalu berlebihan? Dan, apakah anggapan tersebut justru dipersepsikan positif, jika yang beranggapan adalah seorang laki-laki, karena dinilai percaya diri? Mengapa demikian? Karena itu, tradisi sosiopsikologis membahas fenomena ini dengan mengetahui bagaimana komunikan dalam memproses isi pesan, dalam hal ini bagaimana orang lain merespon/menerjemahkan/memberikan persepsi mengenai pernyataan/anggapan tersebut. Ada dua kemungkinan, jika seseorang memandang pernyataan tersebut sebagai hal yang baik, maka akan memberikan respon positif, baik kepada perempuan maupun laki-laki. Begitupun sebaliknya, jika seseorang menilai pernyataan tersebut sebagai hal yang buruk, maka akan memberikan respon negatif. Dalam menjawab semua kemungkinan tersebut, fenomena ini dapat dikaji dengan menggunakan metode kuantitatif. Jika dilihat dari sisi pemberi persepsi, maka survei dapat dilakukan dengan menanyakan suka atau tidak suka jika seorang laki-laki/perempuan beranggapan demikian? Baik atau buruk jika seorang laki-laki/perempuan beranggapan demikian? Apakah hal tersebut adalah sama dengan pamer fisik bagi seorang laki-laki/perempuan? Apakah hal tersebut adalah penghargaan diri bagi seorang laki-laki/perempuan? Dan sebagainya. Sehingga, dari survei tersebut dapat diperoleh simpulan mengapa perempuan cenderung mendapat respon negatif, berbeda dengan laki-laki yang justru mendapat respon positif.
Berdasarkan Sudut Pandang Tradisi dan Paradigma Interpretif
Fenomenologi
Dalam tradisi dan paradigma interpretif, salah satu cabang tradisi yang dapat membahas fenomena ini adalah cabang fenomenologi. Fenomenologi merupakan studi yang berfokus pada penemuan fakta terkait suatu fenomena yang terjadi di masyarakat dan berusaha untuk memahami perilaku individu berdasarkan perspektif yang diteliti. Teori fenomenologi memiliki anggapan bahwa setiap individu memiliki pengalamannya masing-masing. Dalam artian, setiap individu mempunyai persepsi yang berbeda atas dasar pengalamannya. Dalam kasus ini, yaitu mengenai fenomena Misogini Gen Z, tepatnya pada permasalahan “laki-laki yang menganggap dirinya ganteng, dapat pujian. Sedangkan, perempuan yang menganggap dirinya cantik, dibanjiri hujatan”. Dalam tradisi ini, fenomena ini diungkap dengan mencari penjelasan terkait realitas tersebut. Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Dalam hal ini, mengapa seseorang berperilaku (memberikan persepsi) demikian? Untuk memperoleh penjelasan atas pertanyaan tersebut, dalam tradisi ini, fenomena dikaji dengan menggunakan metode kualitatif, yaitu mengumpulkan data deskriptif dengan memberikan quisioner atau melakukan wawancara yang mendalam terhadap orang yang diteliti. Dalam kasus ini, perspektif yang diteliti adalah pemberi respon/yang merespon anggapan. Jadi, halhal yang ditanyakan berkenaan dengan bagaimana pendapat anda jika seorang laki-laki/perempuan mengatakan bahwa dirinya ganteng/cantik? Apa alasan anda jika hal tersebut adalah hal baik/buruk bagi seorang laki-laki/perempuan? Menurut pandangan anda apakah seorang laki-laki/perempuan melakukan hal tersebut bermaksud untuk meningkatkan kepercayaan diri atau mencari sensasi agar dipuji, mengapa demikian? Dan sebagaianya. Dari hasil wawancara tersebut, realitasfenomena ini dapat diketahui atas dasar perspektif yang diteliti. Sehingga, simpulan yang diperoleh tidak dapat digeneralisasikan. Fenomenologi membahas fenomena ini dengan mengungkapkan realitas berdasarkan simbolsimbol (ucapan dan perilaku) yang kemudian dimaknai sesuai dengan bagaimana pemaknaan yang sebenarnya. Artinya, fenomena ini dungkap melalui ucapan dan perilaku yang diperlihatkan, kemudian ucapan dan perilaku tersebut akan dimaknai sesuai dengan bagaiamana pemaknaan yang sebenarnya. Sehingga, fenomena ini akan dimaknai/memiliki makna yang berbeda, sesuai dengan subjektivitas masingmasing individu. Jika dilihat dari pengkategoriannya, fenomena ini kiranya lebih dekat kepada fenomenologi persepsi dan fenomenologi hermenetik. Dimana, persepsi individu dipengaruhi orang lain yang kemudian terjadi proses timbal balik. Katakanlah seorang perempuan yang berpersepsi atas dasar pengaruh orang lain, kemudian orang lain juga berpersepsi yang sama terhadap dirinya atau persepsi tersebut memang didapat dari pengalamannya sendiri. Pada intinya, fenomenologi membahas fenomena ini dengan mengungkap realitas, dalam kasus ini ucapan dan perilaku (anggapan tersebut diatas) yang kemudian diuji dan dimaknai sebagaimana individu tersebut memberikan makna terhadap ucapan dan perilakunya.
Berdasarkan Sudut Pandang Tradisi dan Paradigma Kritis
Feminisme
Dalam tradisi dan paradigma kritis, cabang tradisi yang dapat membahas fenomena ini adalah cabang feminisme. Feminisme merupakan studi yang mengkaji mengenai masalah gender yang bertujuan untuk membangun/membuat kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Seperti apa yang tampak diatas, bahwa fenomena ini adalah mengenai misogini yang difokuskan kepada generasi z, dimana ada ketimpangan antara laki-laki dan perempuan yang memang perempuan cenderung lebih dibenci. Dalam hal ini, perempuan yang kurang mendapat respon positif terkait pengakuannya/anggapanya bahwa dirinya cantik, meskipun pada kenyataannya respon negatif tersebut lebih banyak berasal dari sesamanya (bukan laki-laki). Namun demikian, ada kecenderungan individu yang lebih men-support laki-laki dengan menilai bahwa anggapan ganteng dari dan untuk dirinya dinilai sebagai penghargaan diri yang patut untuk diapresiasi. Berbanding terbalik dengan perempuan, dimana anggapan seperti demikian dipandang buruk yang dinilai memamerkan fisik, sombong, sok cantik, dan berlebihan. Feminisme membahas fenomena ini dengan membongkar dominasi-dominasi yang terjadi. Dalam hal ini yaitu, seseorang (baik laki-laki maupun perempuan) yang memberikan persepsi negatif terhadap perempuan. Feminisme disini kemudian berperan untuk menghilangkan dominasi-dominasi tersebut demi terwujudnya keadilan dan persamaan antara laki-laki dan perempuan. Adapun dalam praktiknya, fenomena ini dapat dikaji dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan observasi dan mewawancarai subjek yang akan menjadi responden. Hal tersebut dilakukan untuk memperoleh informasi sedetail mungkin terkait ketimpangan/dominasi-dominasi yang terjadi, yakni mengenai mengapa seseorang cenderung memberikan respon negatif kepada perempuan? Untuk menjawab persoalan tersebut, hal-hal yang dapat ditanyakan berkaitan dengan salahkah jika seorang perempuan beranggapan demikian, apa alasannya? Atau, apa yang membedakan anggapan tersebut atas laki-laki dan perempuan? Jika laki-laki direspon dengan dipuji, maka kenapa perempuan direspon dengan dihujat? Dari wawancara tersebut, hal-hal yang menjadi persoalan dapat diselesaikan dengan menciptakan kesadaran, untuk mendorong kebebasan, keadilan, dan persamaan yang akan berujung pada perlakuan yang sama terhadap laki-laki dan perempuan.
Berdasarkan Sudut Pandang Teori Kognisi Individu
Teori Atribusi
Dalam teori kognisi individu, salah satu teori yang dapat digunakan untuk membahas fenomena ini yaitu teori atribusi. Teori atribusi membahas mengenai bagaimana perhatian seseorang terhadap bagaiamana tingkah laku orang yang sesunggunya pada suatu lingkungan, hal ini lebih kepada penilaian interpersonal. Teori atribusi membahas fenomena ini dengan menganggap bahwa perilaku seseorang dipengaruhi oleh usaha, keinginan, perasaan, motivasi, ataupun faktor lainnya. Dalam hal ini, bisa saja dikatakan bahwa perilaku tersebut (mengatakan kepada publik dengan menganggap dirinya cantik/ganteng) timbul dari rasa keinginannya agar mendapat pujian dari orang lain atau bisa juga karena termotivasi oleh suatu hal, sehingga melakukan hal demikian, atau mungkin hal tersebut merupakan bentuk dari usahanya untuk tampil lebih percaya diri. Tingkah laku tersebut kemudian dipersepsi oleh orang lain, baik dalam bentuk pemikiran positif ataupun sebaliknya. Teori atribusi membahas fenomena ini dengan mengungkap motif dari komunikator. Dalam artian, mengetahui apa yang melatarbelakangi seseorang melakukan hal demikian, yakni mengatakan kepada publik bahwa dirinya cantik/ganteng. Katakanlah, seorang laki-laki/perempuan yang sebelumnya pendiam, kemudian tiba-tiba tampil dengan mendeskripsikan bahwa ia cantik/ganteng. Teori atribusi mengkaji bagaimana persepsi seseorang terhadap perilaku atau tingkah laku seseorang. Artinya, dalam kasus ini, seseorang akan mendapatkan jawaban atas apa yang menjadi motif seseorang melakukan hal demikian. Sehingga, menimbulkan persepsi atas perilaku atau tingkah laku tersebut. Berkaitan dengan fenomena ini, yang menjadi pertanyaan berkenaan dengan apa yang membuat seseorang mengatakan bahwa ia cantik/ganteng? Dan sebgainya. Hasil dari pembahasan fenomena ini menghadirkan jawaban bahwasanya, ternyata seseorang mengatakan dirinya cantik/ganteng atas dasar keinginannya untuk mencari sensasi agar dapat pujian, misalnya. Pada intinya, teori artribusi membahas fenomena ini dengan mengungkap persepsi kita terhadap perilaku dan tingkah laku seseorang. Apa kiranya yang membuat seseorang melakukan hal tersebut, sehingga kita berpersepsi demikian (pemikiran positif ataupun sebaliknya).
Berdasarkan Sudut Pandang Teori Interpretasi Pesan
Teori Feminisme
Dalam teori interpretasi pesan, fenomena ini dapat dibahas dengan teori feminisme. Sebagaimana dalam pembahasan sebelumnya, bahwa fenomena ini berbicara mengenai adanya ketidakselarasan perlakuan antara laki-laki dan perempuan, dalam hal ini yaitu kecenderungan individu dalam memberikan respon negatif kepada perempuan yang beranggapan/mengakui dirinya cantik, sedang hal tersebut berbanding terbalik dengan laki-laki yang justru mendapat respon positif. Karenanya, teori feminisme berperan dalam hal ini untuk membebaskan individu (baik laki-laki maupun perempuan) dari pemikiran yang terikat akan kecenderung menilai laki-laki lebih unggul dari pada perempuan. Teori feminisme membahas fenomena ini dengan mengungkap bagaimana cara pandang suatu pesan itu memperlakukan laki-laki dan perempuan secara berbeda. Pesan yang dimaksud disini adalah bentuk komunikasi yang dilakukan, tepatnya ungkapan yang sangat sering diulang di atas, yaitu “laki-laki yang menganggap dirinya ganteng, dan/perempuan yang menganggap dirinya cantik”. Pesan tersebut kemudian diterjemahkan oleh orang lain dengan memberikan feedback berupa respon positif/negatif, dimana respon positif lebih banyak diterima laki-laki, sedangkan perempuan cenderung mendapat respon negatif yang didominasi oleh sesamanya. Teori feminisme menjawab bagaimana bisa anggapan tersebut dimaknai secara berbeda padahal itu adalah pernyataan yang sama. Jika dilihat dari status gender, pernyataan tersebut atau mengatakan hal tersebut adalah hal yang wajar bagi seorang laki-laki maupun perempuan, meskipun pada umumnya pernyataan tersebut lebih dekat dengan perempuan. Namun, mengapa justru perempuan yang terkesan dilemahkan oleh sesamanya? Mungkin karena tidak banyak laki-laki yang berani mengungkapkan hal itu, maka laki-laki justru mendapat pujian atas kepercayadiriannya untuk mengatakan hal itu. Berbeda dengan perempuan yang memang sudah tidak asing lagi dengan hal itu, sehingga ketika ada yang beranggapan demikian lebih terkesan ‘ke-PD an’. Walaubagaimanapun, kecantikan dan kegantengan seseorang itu bersifat relatif, tergantung perspektif orang dengan subjektivitasnya masing-masing. Sehingga, terdapat kebebasan seseorang untuk beranggapan demikian (ia cantik/ganteng), tinggal bagaimana kita dalam memberikan persepsi yang sama baik terhadap laki-laki dan perempuan. Dalam kasus ini, feminisme berusaha untuk membebaskan pemikiran yang demikian agar perempuan tidak terkesan dilemahkan oleh lawan maupun sesama jenisnya.